Kartini dan Roh Tanah Jawa: Membaca Ulang Emansipasi dalam Cahaya Rasa dan Rahayu

Sriyanto Spiritualis "Selamat Hari Kartini 21 April 2025".
Kartini dan Roh Tanah Jawa: Membaca Ulang Emansipasi dalam Cahaya Rasa dan Rahayu
Oleh: Sriyanto
Spiritualis
JEPARANEWS | JEPARA - RA Kartini selama ini dikenal sebagai simbol emansipasi perempuan, tapi di balik goresan tintanya yang lembut dan renungannya yang dalam, tersembunyi satu kekuatan besar: roh tanah Jawa sebuah nafas budaya, spiritualitas, dan filosofi yang menyatu dalam rasa. Kartini bukan hanya pembaharu, tetapi juga penjaga nilai-nilai kejawaan yang mengajarkan eling, waspada, dan tepa slira kesadaran, kewaspadaan, dan empati.
Kartini dan “Urip Iku Urup”: Hidup Sebagai Nyala
Dalam falsafah Jawa, hidup (urip) bukan sekadar napas, tetapi urup nyala yang memberi cahaya bagi sesama. Kartini menulis tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membakar kesadaran kolektif perempuan agar menyala dan menyinari dunianya. Ia menyulam pemikirannya dalam kerangka kejawaan yang menjunjung keharmonisan dengan alam dan sesama. Dalam suratnya kepada Stella, ia menulis:
“Aku ingin bebas, seperti burung, agar aku bisa mengabdi bukan hanya untuk keluarga, tetapi bagi semua yang tertindas.”
Kartini bukan sekadar memperjuangkan hak perempuan, ia menghidupkan kembali roso kepekaan batin terhadap ketimpangan, penderitaan, dan ketidakseimbangan yang terjadi di tengah masyarakat feodal dan kolonial.
Spiritualitas Rasa: Kartini dan Doa yang Berjalan di Bumi
Spiritualitas Kartini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan spiritualitas rasa yang mendalam. Ia berdoa dengan pena, menyampaikan keresahan jiwa dan harapannya kepada Tuhan yang ia yakini tidak hanya bersemayam di langit, tetapi juga dalam denyut kehidupan sehari-hari. Dalam budaya Jawa, Tuhan hadir dalam semilir angin, gerimis yang jatuh, dan suara hati yang tenang.
Kartini menulis:
“Saya percaya, Tuhan memahami hati saya lebih dari saya memahami diri saya sendiri.”
Ini sejalan dengan filosofi Jawa: Sangkan Paraning Dumadi sebuah perjalanan spiritual untuk kembali ke asal, ke kesadaran akan jati diri dan tempat manusia dalam semesta.
Falsafah Jawa dan Emansipasi Jiwa
Di balik perjuangannya, Kartini adalah pemikir filosofis yang memahami bahwa pembebasan sejati tidak hanya bersifat lahiriah, tetapi batiniah. Dalam budaya Jawa, ada konsep suwung keheningan batin yang menjadi ruang refleksi dan penyadaran. Kartini berani masuk ke dalam ruang suwung-nya sendiri, merenungi takdir, peran, dan mimpinya.
Dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk ambisi dan kekuasaan, Kartini menghadirkan filosofi alon-alon waton kelakon bertindak perlahan tapi pasti, dengan kesadaran dan keikhlasan. Ia tidak memberontak secara frontal, tetapi membongkar tembok ketidakadilan dengan rasa dan tulisan.
Studi Kasus: Kartini dan Perempuan Kendeng
Jika Kartini hidup hari ini, ia akan berdiri bersama ibu-ibu Kendeng yang menolak perusakan pegunungan karst. Mereka tidak hanya melindungi sumber air, tetapi juga menghormati tanah sebagai Ibu. Dalam spiritualitas Jawa, bumi bukan objek eksploitasi, melainkan subjek yang memiliki roh dan harus dihormati.
“Tanah ini bukan hanya tempat kami berpijak, tapi juga tempat arwah leluhur kami bersemayam,” ujar Mbok Lastri, salah satu perempuan Kendeng.
Seperti Kartini, mereka bersuara bukan untuk melawan, tetapi untuk menyuarakan rasa.
Penutup: Kartini Sebagai Cermin Kesadaran Jawa
RA Kartini adalah cermin dari kesadaran Jawa yang lembut namun kokoh. Ia mengajarkan bahwa perubahan besar bisa lahir dari dalam dari sunyi, dari doa, dari pena yang jernih, dan dari rasa yang tak henti menyala. Dalam era yang serba cepat dan dangkal ini, nilai-nilai Kartini perlu dihidupkan kembali: sebagai jalan pulang ke akar budaya, spiritualitas, dan filosofi Jawa yang menuntun manusia untuk hidup rahayu damai dan selaras dengan semesta.
Ajakan dan renungan penulis:
Mari kita hidupkan kembali Kartini dalam diri kita, tidak hanya sebagai simbol, tetapi sebagai gerak rasa yang membumi. Emansipasi bukan sekadar hak, tapi jalan pulang ke rasa, ke asal, dan ke makna hidup sejati.
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Sriyanto