RA Kartini dan Ekologi Jiwa: Menyemai Kesadaran Lestari dalam Falsafah Jawa

KP Bambang Setiawan Adiningrat Ketua PAKASA Jepara.
RA Kartini dan Ekologi Jiwa: Menyemai Kesadaran Lestari dalam Falsafah Jawa
Oleh: KP Bambang Setiawan Adiningrat Ketua PAKASA Jepara
JEPARANEWS | JEPARA - RA Kartini bukan hanya pelopor emansipasi perempuan. Ia adalah penjelajah batin, perenung zaman, dan penyemai benih kesadaran. Melalui surat-suratnya, kita melihat seorang perempuan muda Jawa yang tengah merajut makna hidup, identitas, dan masa depan bangsanya. Namun lebih dari itu, Kartini mengajarkan sesuatu yang hari ini semakin langka: ekologi jiwa keselarasan antara pikiran, perasaan, dan alam semesta.
Dalam terang falsafah Jawa, Kartini menyuarakan pentingnya kehidupan yang harmoni, antara manusia dengan dirinya sendiri (ngerti sapa ingsun), manusia dengan sesama (tepa slira), dan manusia dengan alam serta Sang Pencipta (manunggaling kawula lan Gusti). Kesadaran ini adalah fondasi spiritual sekaligus ekologis yang masih relevan untuk menjawab krisis zaman.
Ekologi Jiwa: Dari Rasa ke Rahayu
Kartini tidak menyebut istilah “ekologi,” tapi sikap hidupnya mencerminkan nilai-nilai ekologis yang tertanam dalam falsafah Jawa. Ia hidup dalam semangat urip iku urup hidup adalah nyala yang memberi manfaat. Ia menulis dan berjuang bukan demi ambisi, tetapi untuk memberikan kehidupan pada sesama.
Dalam budaya Jawa, rahayu adalah tujuan dari semua tatanan hidup: keselamatan lahir dan batin, individu dan kolektif, manusia dan lingkungannya. Rahayu lahir dari rasa kepekaan batin terhadap keselarasan. Kartini, dalam surat-suratnya, berkali-kali menunjukkan rasa itu: terhadap penderitaan rakyat, kesenjangan pendidikan, dan ketidakadilan gender.
"Saya ingin sekali melihat perempuan-perempuan Jawa bangkit bukan untuk melawan, tetapi untuk menyadari kehadirannya." RA Kartini
Spiritualitas Kejawen dan Kesadaran Lingkungan
Dalam spiritualitas Jawa, bumi adalah ibu (Ibu Pertiwi), air adalah penghubung antar kehidupan, dan angin adalah pembawa pesan batin. Kartini tumbuh dalam lingkungan yang menghormati alam sebagai bagian dari laku spiritual. Dalam konsep sangkan paraning dumadi, manusia adalah bagian dari siklus hidup, bukan pusatnya.
Ekologi jiwa, sebagaimana dipraktikkan Kartini, berakar dari kesadaran akan sangkaning urip (asal hidup) dan paraning urip (tujuan hidup). Dengan menyadari asal dan tujuan hidup, manusia akan menjalani hidup dengan lebih eling lan waspada ingat dan sadar, menjaga harmoni batin dan alam sekitar.
Budaya Jawa: Akar Harmoni Kosmos dan Mikrokosmos
Dalam budaya Jawa, manusia (manungsa) diposisikan sebagai bagian dari tatanan kosmis yang harus menjaga keseimbangan antara jagad cilik (diri) dan jagad gede (alam). Kartini tumbuh dalam ruang budaya yang menjunjung konsep memayu hayuning bawana memperindah dan merawat dunia. Pemikirannya mewarisi semangat ini: bahwa perjuangan lahir dari kesadaran akan kesatuan antara jiwa dan jagad.
“Kami ingin hidup bukan sekadar untuk diri kami, tapi bagi semua makhluk ciptaan.” RA Kartini (dari suratnya ke Abendanon, dimaknai secara kontekstual).
Filsafat Jawa: Angen-angen, Rasa, lan Tepa Slira
Kartini dalam renungannya menulis bukan sekadar dari logika, tapi dari rasa. Dalam tradisi Jawa, angen-angen (pengendapan pikiran), roso (kepekaan batin), dan tepa slira (empati) adalah fondaisi hidup yang sejati. Inilah akar dari kepedulian ekologis: bukan karena tren, tapi karena welas asih.
Kartini, Falsafah Jawa, dan Masa Depan
Kartini mengajak kita menanam kembali benih kesadaran yang lama terabaikan: bahwa perubahan besar dimulai dari batin. Falsafah Jawa mengajarkan bahwa tumindak kang utama perilaku yang utama lahir dari roso yang bening. Ketika jiwa manusia tidak lagi gaduh oleh hasrat, maka ia bisa mendengar suara bumi.
Hari ini, di tengah krisis lingkungan, suara Kartini kembali menggema. Ia berbicara bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang kelestarian jiwa manusia yang terancam oleh keserakahan, keterputusan spiritual, dan kehilangan akar budaya
Kutipan Tokoh:
“Kartini adalah jembatan antara spiritualitas Jawa dan kemanusiaan universal.” YB Mangunwijaya
“Keberanian Kartini itu bukan hanya keberanian sosial, tapi keberanian rohani untuk berpikir dengan hati.” Prof. Siti Musdah Mulia.
Penutup: Menyemai Kesadaran Lestari
RA Kartini tidak mengajarkan kita untuk marah. Ia mengajarkan kita untuk sadar. Sadar akan hakikat diri, sadar akan penderitaan sesama, dan sadar bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan yang harus dikembalikan dalam keadaan utuh.
Dalam terang falsafah Jawa, perjuangan Kartini adalah laku spiritual: ngeli ning ora keli ikut arus tapi tidak hanyut. Kini, tugas kita adalah melanjutkan semangatnya, menyemai ekologi jiwa, dan menumbuhkan harmoni antara rasa, budaya, dan bumi.
Renungan Penulis:
Mari membaca ulang Kartini dengan mata hati. Bukan hanya sebagai pahlawan perempuan, tapi sebagai penjaga rasa dan pelindung bumi. Sebab, hanya dengan kesadaran jiwa, kita bisa menyelamatkan masa depan.
Editor :Eko Mulyantoro
Source : KP Bambang Setiawan Adiningrat