Ketidaktepatan Yurisprudensi dalam Putusan Praperadilan Kasus Tipikor Mantan Perangkat Desa Dudakawu
Pendapat Hukum
Pendapat Hukum - Ketidaktepatan Yurisprudensi dalam Putusan Praperadilan Kasus Tipikor Mantan Perangkat Desa Dudakawu, Jepara, Senin (13/10/2025).
Pendapat Hukum
Ketidaktepatan Yurisprudensi dalam Putusan Praperadilan Kasus Tipikor Mantan Perangkat Desa Dudakawu, Jepara
Sumber berita utama: Redaksi Jateng – Bidik-Kasusnews.com, “Hakim Tolak Praperadilan Kasus Tipikor Mantan Perangkat Desa Dudakawu”, 13 Oktober 2025.
Penulis opini: Djoko TP Inaker
Disusun berdasarkan kajian hukum acara pidana, yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), serta literatur hukum progresif Indonesia.
1. Pendahuluan: Dari Fakta Persidangan ke Ranah Opini Hukum
Kasus Hammatussolikhah binti Mutawar, mantan Kasi Kesejahteraan Desa Dudakawu, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, yang mengajukan praperadilan terhadap penetapan tersangkanya dalam perkara dugaan Tipikor dana desa, berakhir dengan penolakan seluruh permohonan oleh PN Jepara (Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Jpa).
Hakim tunggal Meirina Dewi Setiawati, S.H., M.Hum., beralasan bahwa penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan telah sesuai prosedur hukum dan mengacu pada SEMA No. 2/2004, SEMA No. 4/2016, serta Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017.
Namun, dari perspektif yurisprudensi, teori hukum acara pidana, dan asas due process of law, putusan tersebut tidak tepat dan tidak sejalan dengan arah pembaharuan hukum acara pidana Indonesia, terutama setelah lahirnya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
2. Paradigma Hukum: Praperadilan sebagai Pengawal Konstitusional
Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan bahwa praperadilan berwenang memeriksa dan memutus tentang:
“Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penetapan tersangka.”
Penegasan frasa “penetapan tersangka” merupakan hasil tafsir konstitusional melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, yang memperluas makna kewenangan praperadilan dari semula terbatas pada aspek formil menjadi mencakup substansi kecukupan bukti permulaan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan:
“Penetapan seseorang sebagai tersangka tanpa dua alat bukti permulaan yang cukup merupakan pelanggaran hak konstitusional atas rasa aman dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
Dengan demikian, setiap hakim praperadilan wajib memeriksa kebenaran materiil alat bukti permulaan — bukan sekadar memeriksa kelengkapan administrasi penyidikan.
3. Analisis Yurisprudensi yang Dilanggar
a. Penyimpangan terhadap Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
Hakim PN Jepara menyatakan bahwa alat bukti yang diajukan pemohon tidak relevan, karena “praperadilan bukan forum untuk menilai materi pidana.”
Padahal, sesuai Putusan MK tersebut, hakim justru wajib menilai keabsahan bukti permulaan agar tidak terjadi penetapan tersangka yang sewenang-wenang.
???? Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014:
“Kecukupan bukti permulaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keabsahan penetapan tersangka yang dapat diuji melalui praperadilan.”
? Ketidaktepatan: PN Jepara gagal menerapkan tafsir konstitusional MK, sehingga melemahkan fungsi praperadilan sebagai kontrol yudisial terhadap aparat penegak hukum.
b. Salah menempatkan SEMA dan Peraturan BPK sebagai dasar hukum utama
Hakim menggunakan SEMA No. 4 Tahun 2016 dan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 sebagai dasar untuk menilai keabsahan audit kerugian negara.
Padahal menurut asas lex superior derogat legi inferiori, peraturan internal lembaga (SEMA, Peraturan BPK) tidak dapat menafikan tafsir hukum yang lebih tinggi, yaitu KUHAP dan Putusan MK.
???? Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
? Ketidaktepatan: Hakim lebih menekankan formalitas administratif ketimbang prinsip fair trial dan due process of law sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
c. Kesalahan tafsir tentang lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara
Hakim berpendapat hanya BPK yang berwenang menentukan adanya kerugian keuangan negara.
Padahal, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa lembaga lain seperti BPKP atau Inspektorat juga dapat melakukan audit investigatif yang sah untuk kepentingan penyidikan.
???? Putusan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014:
“Hasil audit BPKP dapat digunakan sebagai alat bukti sah untuk menghitung kerugian keuangan negara sepanjang dilakukan secara profesional dan sesuai standar audit.”
???? Putusan MK No. 31/PUU-X/2012:
“Penentuan kerugian keuangan negara tidak hanya bersumber dari BPK, tetapi juga dari hasil audit lembaga resmi lain yang diberi mandat oleh undang-undang.”
? Ketidaktepatan: Hakim PN Jepara menutup ruang interpretasi progresif, padahal semangat hukum tipikor justru menuntut fleksibilitas pembuktian asal dilakukan secara sah dan akuntabel.
d. Mengabaikan asas “due process of law”
Asas ini merupakan prinsip fundamental dalam hukum acara pidana, yang menuntut setiap tindakan aparat penegak hukum dilakukan dengan menghormati hak-hak tersangka.
Hakim PN Jepara menyatakan “proses penetapan dan penahanan sesuai hukum” tanpa menguraikan apakah:
- Ada dua alat bukti permulaan.
- Tersangka didampingi penasihat hukum.
- Ada SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang sah (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
???? Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015:
“Keterlambatan atau ketidakterbitan SPDP kepada penuntut umum merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional tersangka.”
? Ketidaktepatan: Hakim tidak menguji unsur prosedural ini, padahal SPDP adalah bagian dari kontrol terhadap legalitas penyidikan.
4. Analisis Yurisprudensi Pembanding (Best Practice Nasional)*
*Kasus Dana Desa Pekon Sukajaya, Lampung Barat (PN Liwa, 2021)
Perkara: Praperadilan terkait penetapan tersangka perangkat desa atas dugaan penyalahgunaan dana desa.
Putusan: Permohonan dikabulkan sebagian.
Pertimbangan hukum:
Hakim menyatakan bahwa penyidik terlalu dini menetapkan tersangka karena:
- Audit kerugian negara baru bersifat sementara, bukan final dari BPKP.
- Tidak ada dua alat bukti permulaan yang kuat (hanya laporan Inspektorat dan keterangan pelapor).
*Yurisprudensi yang ditegaskan:*
Hakim merujuk Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan Pasal 184 KUHAP, menegaskan bahwa “penetapan tersangka tanpa dua alat bukti permulaan yang cukup merupakan tindakan sewenang-wenang.”
Pelajaran bagi kasus Dudakawu:
Jika audit atau bukti permulaan belum lengkap, maka hakim PN Jepara seharusnya menilai aspek kecukupan bukti, bukan langsung menyatakan sah seluruh tindakan penyidik.
Kasus Dana Desa Tanjung Harapan, Kabupaten Blora (PN Blora, 2022)
Perkara: Praperadilan perangkat desa terkait dugaan mark-up pengadaan jalan desa.
Putusan: Permohonan dikabulkan seluruhnya.
Pertimbangan hukum:
Hakim menyatakan:
- Audit yang digunakan penyidik bukan audit investigatif, melainkan audit kinerja;
- Tidak ada bukti keterlibatan langsung pemohon;
- Penetapan tersangka dilakukan tanpa pemanggilan dan klarifikasi terlebih dahulu.
Rujukan yurisprudensi:
- Putusan MA No. 42 PK/Pid.Sus/2020 (hakim wajib menilai kecukupan bukti permulaan).
- Putusan MA No. 126 PK/Pid/2018 (Abraham Samad) tentang penetapan tersangka tanpa proses hukum yang sah.
Pelajaran bagi kasus Desa Dudakawu:
Jika penyidik tidak melakukan pemeriksaan mendalam sebelum menetapkan tersangka, maka tindakan tersebut cacat formil, dan seharusnya dapat dibatalkan melalui praperadilan.
Kasus Dana Desa Banyuwangi (PN Banyuwangi, 2023)
Perkara: Praperadilan oleh sekretaris desa atas dugaan penyalahgunaan dana desa
Putusan: Permohonan ditolak sebagian, dikabulkan sebagian.
Pertimbangan hukum:
Hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka sah, tetapi penahanan dinyatakan tidak sah karena tidak memenuhi prosedur hak tersangka (tidak didampingi penasihat hukum dan tidak ada surat perintah tertulis).
Rujukan yurisprudensi:
- Putusan MA No. 106 PK/Pid.Sus/2022 (prosedur penahanan wajib memenuhi hak konstitusional tersangka).
- Pasal 50–51 KUHAP tentang hak-hak tersangka untuk mendapatkan pendampingan hukum dan pemberitahuan kepada keluarga.
Pelajaran bagi kasus Dudakawu:
Hakim PN Jepara seharusnya dapat memisahkan objek praperadilan (penetapan tersangka, penahanan, penyitaan), bukan menolak seluruhnya tanpa pertimbangan terpisah.
5. Kajian Akademik: Hukum Progresif dan Keadilan Substantif
Mengutip Prof. Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Kompas, 2005),
“Hukum harus menjadi instrumen keadilan yang hidup - (living law) bukan sekadar teks normatif. Hakim wajib menggali nilai-nilai keadilan masyarakat, bukan berhenti pada prosedur administratif.”
Dalam konteks ini, putusan PN Jepara menunjukkan pendekatan hukum prosedural formalistik, bukan hukum progresif.
Sementara Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan:
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
? Maka, menolak seluruh permohonan tanpa analisis bukti permulaan sama saja dengan mengabaikan perintah undang-undang untuk menggali keadilan substantif.
6. Penutup dan Rekomendasi
Dari seluruh analisis normatif, konstitusional, dan yurisprudensial di atas, dapat disimpulkan bahwa putusan praperadilan PN Jepara tidak tepat secara yurisprudensi, karena:
- Mengabaikan perluasan objek praperadilan berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014;
- Menafsirkan audit BPK sebagai syarat tunggal yang bertentangan dengan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014
- Tidak melakukan uji kecukupan bukti permulaan dan melanggar asas due process of law;
- Mengutamakan SEMA dan peraturan teknis di atas hukum konstitusional dan yurisprudensi tetap;
- Tidak menggali keadilan substantif sebagaimana diamanatkan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Rekomendasi Hukum:
- Komisi Yudisial (KY) dapat diminta mengevaluasi penerapan asas kehati-hatian dan keadilan substantif dalam putusan PN Jepara.
- Tim kuasa hukum dapat mengajukan permohonan penyelidikan ulang atau SPDP baru, disertai bukti audit investigatif baru dari BPKP atau Inspektorat.
- Dalam konteks akademik, kasus ini perlu dijadikan bahan studi kritis yurisprudensi praperadilan di tingkat fakultas hukum dan lembaga penelitian hukum pidana Indonesia.
Catatan Penutup:
Kasus praperadilan Dudakawu bukan sekadar perkara administratif, melainkan cermin ketegangan antara hukum prosedural dan hukum keadilan. Dalam konteks reformasi peradilan, hakim seharusnya berani menafsir hukum secara progresif, bukan sekadar menjadi “penjaga teks”, tetapi “penjaga nurani hukum.”
Disclaimer
Daftar Referensi
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
- Putusan MK No. 31/PUU-X/2012
- Putusan MA No. 1044 K/Pid.Sus/2014
- Putusan PN Jaksel No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2016
- Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Kompas, 2009
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo