Menjadikan DPRD Sebagai Penjaga Keadilan Ekologis Pesisir Jepara

Andi Rokhmat, Ketua Komisi D DPRD Jepara dan Dr. Djoko TP, Selasa (3/6/2025).
JEPARANEWS | JEPARA - Kunjungan kerja Komisi D DPRD Kabupaten Jepara Bidang Infrastruktur ke wilayah pesisir yang terdampak abrasi seperti Semat, Teluk Awur, dan Tegal Sambi, hingga adanya reklamasi pantai oleh masyarakat di wilayah Pasar Apung, Kelurahan Demaan bukan sekadar rutinitas birokratis. Langkah ini justru bisa dimaknai sebagai momen penting untuk memperluas peran legislatif dalam menjadi pengawal keadilan ekologis.
Abrasi pesisir bukan hanya peristiwa alam biasa. Ia adalah gejala dari cara kita memperlakukan ruang hidup dan ekosistem secara serampangan.
Dalam Risk Society, sosiolog Ulrich Beck menjelaskan bahwa kita hidup di era risiko yang kita ciptakan sendiri: bencana ekologis akibat pembangunan yang tidak terkontrol dan minim kesadaran keberlanjutan. Abrasi pantai, dalam kacamata ini, adalah bukti bahwa pembangunan pesisir belum sepenuhnya berpihak pada ekosistem dan masyarakat lokal.
Lalu siapa yang menjadi korban paling nyata dari abrasi? Tentu saja masyarakat pesisir, nelayan kecil, warga yang tanah, dan rumahnya kian tergerus ombak. Mereka ini masuk dalam kategori warga rentan.
Mangrove sebagai Simbol Rekonsiliasi Sosial Ekologis
Pendekatan keadilan ekologis menekankan bahwa setiap warga memiliki hak atas lingkungan hidup yang bersih dan aman, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945. Penanganan abrasi bukan sekadar tugas teknis Dinas PUPR, tetapi juga mandat konstitusional DPRD sebagai wakil rakyat untuk memastikan bahwa kelompok rentan tidak menjadi korban ganda korban abrasi dan korban dari kegagalan kebijakan.
Penanaman mangrove, yang menjadi salah satu poin utama dalam usulan Andi Andong, memiliki makna lebih dari sekadar tindakan penghijauan. Dalam perspektif sosiologis, mangrove adalah simbol rekonsiliasi antara masyarakat dan lingkungan pesisir. Akar mangrove yang kokoh namun lentur merepresentasikan ketahanan sosial-ekologis, yakni kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui pengetahuan lokal dan dukungan kebijakan.
Adanya kesadaran bahwa solusi teknis harus dibarengi dengan penyadaran kolektif dan partisipasi komunitas. Ini menggarisbawahi pentingnya edukasi lingkungan dan pembentukan habitus ekologis baru dalam masyarakat Jepara.
Revitalisasi vegetasi dan metode penanaman mangrove
Revitalisasi vegetasi pantai juga harus masuk dalam dokumen perencanaan tata ruang dan regulasi perlindungan lingkungan. Peraturan daerah yang tegas, pengawasan reklamasi ilegal, serta integrasi vegetasi pantai dalam rencana pembangunan pariwisata dan pesisir mutlak dibutuhkan. Pembangunan harus sejalan dengan konservasi. Dan mangrove, bersama tanaman pantai lainnya, adalah pagar hidup yang telah disediakan alam tinggal bagaimana kita mau merawatnya bersama atau membiarkannya hilang perlahan.
Panduan Praktis Penanaman Mangrove untuk Cegah Abrasi
1. Pilih Bibit yang Tepat Gunakan Rhizophora (bakau) untuk area berlumpur yang sering tergenang air laut. Gunakan Avicennia atau Sonneratia untuk area yang lebih tinggi dan kering. Pilih bibit sehat: tinggi 30–50 cm, akar kuat, tidak busuk.
2. Tentukan Lokasi Tanam Tanam di zona pasang surut yang masih berlumpur. Hindari tempat dengan ombak kuat atau abrasi aktif berat tanpa perlindungan. Pastikan lokasi aman dari gangguan manusia atau hewan.
3. Cara Menanam Buat lubang tanam ±15 cm dalam. Tanam bibit secara tegak dan padatkan tanah di sekitarnya. Jarak tanam 1×1 meter atau 1,5×1,5 meter. Jika pakai propagul (Rhizophora), cukup ditancapkan sepertiga bagian ke tanah.
4. Pantau dan Rawat Cek setiap minggu di 2 bulan pertama. Ganti bibit yang mati. Bersihkan gulma dan sampah. Jaga dari hewan liar atau aktivitas merusak. Libatkan masyarakat sekitar untuk pengawasan bersama.
Metode ini bisa dikombinasikan dengan penanaman cemara laut, ketapang, pandan laut, atau waru laut di bagian atas pantai untuk menambah perlindungan.
Legislasi Berbasis Etika Ekologis
Kunjungan kerja Komisi D Jepara bisa menjadi awal dari transisi kelembagaan dari representasi politik menuju ethical ecological representation. Namun langkah itu hanya akan berdampak apabila dikawal dengan pendekatan sosiologis: berpihak pada yang lemah, melibatkan komunitas, dan mengubah cara pandang terhadap alam sebagai mitra hidup, bukan objek eksploitasi.
Dengan menjadikan kunjungan kerja sebagai momentum politik ekologis, DPRD Jepara bisa menjadi barometer penanganan abrasi yang berbasis keadilan sosial dan lingkungan, bukan sekadar reaksi terhadap tekanan fisik abrasi.
Legislatif kita seharusnya bukan sekadar menyuarakan mayoritas, tetapi melindungi minoritas ekologis—mereka yang hidup di garis depan risiko abrasi.
Menuju Politik Lingkungan yang Transformatif
Langkah Komisi D yang dipimpin oleh Andi Andong adalah angin segar di tengah pesimisme publik terhadap kinerja legislatif. Namun, agar monitoring tidak berhenti pada dokumentasi, maka pendekatan sosiologis perlu dilembagakan dalam setiap tahapan perencanaan hingga implementasi solusi abrasi. Jepara memiliki peluang menjadi contoh keberhasilan politik lingkungan yang transformatif yakni model kebijakan yang tidak hanya memperbaiki lingkungan secara teknis, tetapi juga mereformasi relasi sosial dan memperkuat kesadaran ekologis kolektif. Di situlah, peran DPRD dan masyarakat berpadu sebagai penggerak perubahan.
Sudah waktunya kita menggeser cara pandang: bukan lagi soal bagaimana menahan abrasi dengan proyek fisik, tetapi bagaimana menata ulang relasi manusia dan pesisir secara adil dan berkelanjutan. Kunjungan Komisi D bisa menjadi awal dari perubahan itu asal dikawal, diperluas, dan dilandasi etika ekologis.
Djoko TP Pemerhati Kebijakan Publik Sosial dan Lingkungan
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo