Lesbumi NU Hadirkan Suluk Mantingan Bagi Agamawan, Budayawan dan Seniman Jepara

Peserta Suluk Mantingan Lesbumi NU Jepara, Jum'at 15/4/2022. (Foto Dok. sigapnews.co.id).
JEPARANEWS | JEPARA - Suluk Mantingan bersama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdatul Ulama Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Di bulan suci Ramadan 1443 H, keramaian nampak di Paseban Masjid Mantingan bagian utara setelah selesainya sholat tarawih, Jum'at 15/4/2022, Pukul 20.30 WIB beberapa tokoh Agamawan, Budayawan dan Seniman, serta anak-anak muda penikmat ruang diskusi berkumpul.
Mereka menghadiri Suluk Mantingan Relasi Agama, Seni dan Budaya bersama tokoh-tokoh Lesbumi NU serta sekaligus, Tahlil dan Doa Haul KH. Agus Sunyoto dan KH. Sya'roni Ahmadi. Keduanya tokoh NU yang meninggal dunia di bulan suci Ramadan tahun 2021 lalu.
Almarhum Romo Kyai Ngabehi Agus Sunyoto, mantan ketua Pengurus Pusat Lesbumi NU, bagi para pengurus Lesbumi dan pegiat budaya di Jepara adalah tokoh yang mendapatkan tempat tersendiri.
K.H. Sya’roni Ahmadi Al-Hafidz merupakan ulama yang alim dalam bidang tafsir. Beliau juga dikenal oleh masyarakat sebagai ulama yang sangat karismatik dan disegani masyarakat dan Mustasyar PBNU asal Kudus.
Ki Sholeh Ronggo Warsito, S.Pd.I. dari Mlonggo memimpin doa dan penutupan acara pada pukul 00.20 WIB.
Dalam acara live streaming melalui video conference dengan Ning Nisya, puteri dari almarhum KH. Agus Sunyoto. Menyampaikan bahwa dia bersama almarhum mendatangi beberapa tempat seperti Benteng Portugis dan Masjid Mantingan, dan mempertanyakan mengapa Jepara menjadi kota mati, tidak punya identitas dibandingkan kota-kota yang lebih kecil dari kota Jepara.
Mengingat, Jepara sudah melahirkan sosok besar dan terhormat, seperti RA. Kartini, RMP Sosrokartono, serta para kyai dan ulama besar.
Almarhum KH. Agus Sunyoto, berpesan agar Jepara memiliki identitas luar biasa dan Lesbumi NU Jepara agar bisa memiliki program lebih jelas. Dan, ini banyak yang bisa dikerjakan sama oleh anak muda, yang tahu teknologi dan kerjasama yang konkrit.
Pada suasana larut malam, Brodin asal Slagi, desa Sinanggul, salah satu seniman yang hadir, menembangkan sekar hong wilaheng sekareng bawono langgeng (laksana bunga yang aromanya semerbak abadi) dan salah seorang seniman dari desa Pekalongan, Kecamatan Batealit, Aminan Basyari koordinator Komite Sastra DKD, membacakan puisi yang diciptakan oleh puterinya.
Dalam kesempatan yang sama Ngateman Ketua Lesbumi NU Jepara yang berasal dari Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, mengatakan acara Suluk Mantingan adalah relasi agama, seni dan budaya.
"Suluk Mantingan artinya ruang diskusi tokoh-tokoh agamawan, budayawan dan seniman di Jepara," ujar Ngateman.
"Kedepannya, agenda Suluk Mantingan, akan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh lintas agama dan pelaku seni budaya berbagai latar belakang," tambahnya.
Salah seorang narasumber bernama Agung menyampaikan bahwa, Jepara adalah masyarakat lereng muria dan pewaris peradaban.
Warisan kebudayaan bisa diwujudkan dalam forum aplikasi atau tindakan nyata tentang kebesaran peradaban. Kebudayaan Jawa dan Islam bisa berdampingan menjadi sebuah kiblat kehidupan yang mulia, Rahmatan lil 'Alamin
"Acara malam ini, Suluk Mantingan adalah sebuah benang merah, relasi antara agama dan budaya tidak perlu dipertentangkan karena sudah satu frekuensi," ucap Agung.
Fatkhur menambahkan tanggapannya tentang budaya, pemahaman dikotomi islamisasi, santri, abangan dan priyayi, manifes kebudayaan, seni tradisi, kekayaan lokal serta syair Ronggowarsito.
O'ok selaku notulensi menambahkan konsep pengetahuan local wisdom bersifat universal dan Suluk Mantingan bisa menjadi sebuah kearifan lokal dan menjadi kearifan universal serta tali persaudaraan.
Beberapa agamawan, budayawan dan seniman hadir, seperti Mbah Sowy, Sutarya pegiat seni ukir Jepara, Bayu Andara, Burhan, dan masih banyak lagi. Juga hadir, anak-anak muda penikmat Suluk Mantingan, dalam acara bersama Lesbumi NU Jepara.
Editor :Eko Mulyantoro