RS Graha Husada Jepara
Dugaan Malpraktik dan Maladministrasi, Akibat Kontrol Di luar Jadwal Pelayanan BPJS

Dugaan Malpraktik dan Maladministrasi di RS Graha Husada Jepara
JEPARANEWS | JEPARA - Apa arti rumah sakit jika pasien yang kembali dalam kondisi darurat malah ditolak? Apa makna layanan kesehatan berbasis BPJS jika ketika nyawa berada di ambang kritis, alasan “di luar jadwal” menjadi tameng dan alasan klasik untuk lepas tangan?
Jadwal layanan BPJS di rumah sakit umumnya bersifat fleksibel, tergantung pada jenis layanan dan kebutuhan medis pasien.
Sementara tanggungjawab rumah sakit pasca operasi meliputi perawatan pasca bedah, pemantauan tanda-tanda vital, penanganan komplikasi, dan penanganan nyeri yang bisa timbul pasca penanganan operasi.
Di tengah janji layanan kesehatan yang merata dan manusiawi, kisah menyayat hati datang dari seorang perempuan pasien ginjal berusia 55 tahun, FMM, warga Perumahan Mutiara Hati 2, Blok F10, Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Ia menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Husada Jepara Jl. MH Thamrin No.14, salahsatu rumah sakit swasta yang berada di Jepara. Pasien didampingi oleh keluarganya menjalani operasi dengan harapan sembuh, namun justru beberapa hari keluar dari rumah sakit dalam kondisi memburuk dan akhirnya harus dirawat ulang di RSUD Kartini Jepara dalam keadaan lemah, dehidrasi, dan tidak bisa makan.
Kisah pilu ini dialami oleh FMM, seorang pasien ginjal asal Jepara, menjadi potret menyedihkan dari lemahnya sistem layanan medis yang seharusnya menjadi sandaran harapan bagi pencari layanan kesehatan.
Pasien yang baru saja menjalani operasi di RS Graha Husada Jepara, mengalami komplikasi serius hanya beberapa hari setelah dipulangkan.
Pasien tersebut mengalami demam tinggi, muntah-muntah, lemas, dan asam lambung . Namun saat kembali untuk konsultasi ke RS Graha Husada tentang kondisi yang dialami pasca operasi apakah perlu dilakukan tindakan lanjutan, pasien hanya diberi obat pusing dan anti nyeri. Dan pihak rumah sakit menolak menangani pasien dengan alasan kontrol dilakukan di luar jadwal BPJS. Tapi yang lebih menyakitkan dari rasa sakit fisik adalah rasa tertolak, saat rumah sakit yang melakukan operasi menolak menerima kembali pasien hanya karena kendala administratif.
Apa yang salah?
Penelusuran tim jurnalis melalui pendamping pasien berinisial DTP lewat pesan WhatsApp, Senin (12/5/2025) mengungkapkan adanya dugaan penelantaran pasien pasca operasi, minimnya edukasi medis, serta indikasi kuat pelanggaran etika pelayanan kesehatan.
Lebih ironis, rumah sakit menolak menangani pasien ketika kembali dalam kondisi darurat, hanya karena status kontrol dinilai "di luar jadwal BPJS" sebuah alasan yang tidak berdiri di atas asas kemanusiaan.
Padahal pelayanan kesehatan diluar jadwal karena berbagai alasan salahsatunya seperti kebutuhan mendesak oleh pasien (keadaan darurat).
“Kami datang dalam keadaan darurat, bukan untuk konsultasi iseng. Tapi malah disuruh bayar sendiri karena dianggap bukan waktu kontrol BPJS,” ujar Andin, putra pasien.
Selain dari itu masih kata Andin "Ini sangat mengecewakan. Padahal pasien jelas dalam kondisi gawat. Tapi malah disuruh bayar umum. Bukankah BPJS tetap berlaku untuk kondisi darurat?” cetusnya.
Akibat kondisi yang tidak kunjung membaik, mengikuti dan sesuai saran pihak RS Graha Husada pasien disarankan untuk dibawa ke RSUD Kartini tanpa diberi rujukan. Keluarga akhirnya membawa pasien ke RSUD Kartini Jepara, di mana pasien didiagnosa mengalami infeksi saluran kemih dan penyakit asam lambung atau GERD.
Hingga berita ini diterbitkan, saat ini pasien masih dirawat intensif dalam kondisi lemah dan belum dapat beraktivitas secara mandiri.
Pihak keluarga menyatakan kalau ada indikasi dugaan Malpraktik akan menempuh jalur pelaporan resmi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, BPJS Kesehatan, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ombudsman RI. Kasus ini diharapkan dapat menjadi perhatian serius, mengingat adanya indikasi maladministrasi dan pelanggaran hak pasien.
"Kami ingin keadilan. Ini soal tanggung jawab institusi medis. Jangan sampai kasus ini menelan korban berikutnya,” tegas Eny, adik kandung pasien.
Lebih dari sekadar kelalaian administratif, pasien juga tidak diinformasikan tentang efek pasca operasi dan bahkan tidak diberi perlindungan lambung dalam resep obat. Hasilnya? GERD parah, infeksi saluran kemih, dan kelelahan total.
Dugaan adanya Malpraktik seperti selang urin? baru diketahui saat pulang, dokter utama? tidak hadir saat kontrol, tindakan cepat? ditolak karena ‘bukan jadwal’ layanan BPJS.
Kasus ini terjadi di sebuah rumah sakit yang menjadi rujukan BPJS. DTP aktivis layanan publik menyebut kejadian ini bukan hanya cacat prosedur, tapi masuk dalam wilayah dugaan Malpraktik dan Maladministrasi berat.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Perlu audit total dan evaluasi menyeluruh. Kita bicara tentang nyawa manusia, bukan tiket antrean," kata DTP aktivis sosial yang turut mendampingi keluarga pasien.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak RS Graha Husada Jepara belum memberi klarifikasi baik kepada pendamping maupun pihak keluarga pasien yang membutuhkan kejelasan. Sementara pasien masih terbaring lemah di RSUD Kartini dengan harapan kesembuhan dari tangan para petugas medis yang menangani.
Hingga siaran ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak RS Graha Husada Jepara. Pihak pendamping dan keluarga pasien sangat menyayangkan profesionalisme kinerja manajemen RS Graha Husada Jepara.
Apakah sistem kesehatan kita akan membiarkan birokrasi mengalahkan nyawa?
"Atau sudah saatnya kita bicara: RS bukan bisnis, tapi panggilan nurani," tegas DTP.
Malpraktik diatur di Undang-Undang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009) dan UU No. 17 Tahun 2023. Dan pertanggungjawaban hukum rumah sakit diatur di Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Awak media mencoba menghubungi Direktur Rumah Sakit Umum Graha Husada Jepara yaitu drg. M. Tryanza Maulana, MM, MARS, FISQua untuk meminta keterangan lewat alamat email di XXyanzarsip@gmail.com satus terkirim namun pesan belum dibalas.
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo