RUU Perampasan Aset, Jawaban atas Keterbatasan MLA dalam Menangani Kejahatan Lintas Negara

RUU Perampasan Aset, Jawaban atas Keterbatasan MLA dalam Menangani Kejahatan Lintas Negara
RUU Perampasan Aset, Jawaban atas Keterbatasan MLA dalam Menangani Kejahatan Lintas Negara
Oleh: Djoko TP
Pengamat Kebijakan Publik dan Hukum Tata Negara Yayasan Konsorsium LSM Jepara
JEPARANEWS | JEPARA - MLA sebagai Instrumen Awal Penegakan Hukum Lintas Negara. Sebelum adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, Indonesia telah memiliki UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance / MLA) sebagai dasar kerja sama hukum antarnegara.
Undang-undang ini memungkinkan Indonesia meminta bantuan hukum internasional untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara pidana, terutama ketika pelaku atau hasil kejahatan telah melarikan diri ke luar negeri.
Melalui mekanisme MLA, aparat penegak hukum dapat:
- Melacak dan membekukan aset hasil kejahatan yang disembunyikan di rekening luar negeri.
- Meminta bantuan penyidikan dan pemanggilan saksi di yurisdiksi negara lain.
- Mengajukan permohonan penyitaan atau pengembalian aset hasil kejahatan lintas negara, seperti pada kasus korupsi, narkotika, dan kejahatan keuangan internasional.
Namun, penerapan MLA bersifat terbatas.
Ia hanya dapat dilakukan apabila negara tujuan memiliki perjanjian timbal balik dengan Indonesia, dan baru dapat dijalankan setelah ada proses hukum pidana yang sedang berlangsung di dalam negeri.
Artinya, MLA tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar perampasan aset.
Ia hanyalah alat bantu prosedural antarnegara, bukan substansi hukum nasional yang mengatur penyitaan atau perampasan aset hasil kejahatan.
RUU Perampasan Aset: Terobosan Hukum untuk Pemulihan Negara
Keterbatasan tersebut menimbulkan kebutuhan akan sebuah instrumen hukum nasional yang lebih tegas dan efektif.
Di sinilah RUU Perampasan Aset hadir sebagai terobosan hukum penting.
RUU ini dirancang untuk memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelaku suatu pendekatan yang dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture (NCB).
Melalui pendekatan ini, negara tetap dapat memulihkan kerugian publik, bahkan jika pelaku:
- melarikan diri ke luar negeri.
- meninggal dunia sebelum diadili, atau
- menggunakan pihak ketiga untuk menyembunyikan hasil kejahatan.
RUU Perampasan Aset menempatkan harta kekayaan sebagai objek utama penegakan hukum, bukan hanya pelaku kejahatannya.
Prinsip ini telah diterapkan di banyak negara, seperti Singapura, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, dan terbukti efektif dalam menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan para koruptor untuk melarikan dana ke luar negeri.
Sinergi antara MLA dan RUU Perampasan Aset
Kehadiran RUU Perampasan Aset tidak berarti meniadakan MLA, melainkan justru memperkuat efektivitasnya.
Keduanya memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling melengkapi:
Aspek MLA (UU No. 1 Tahun 2006) RUU Perampasan Aset Fungsi utama.
Kerja sama antarnegara dalam perkara pidana
Instrumen nasional untuk merampas aset hasil kejahatan.
Sifat hukum
Prosedural, berbasis kasus pidana.
Substantif, dapat berdiri sendiri tanpa putusan pidana.
Ruang lingkup lintas negara (internasional) dalam negeri dan luar negeri.
Keterbatasan
- Harus ada proses pidana dan perjanjian timbal balik.
Dapat dilakukan secara mandiri oleh negara.
Kelebihan
Memfasilitasi pelacakan aset di luar negeri.
- Mempercepat pemulihan aset dan menutup celah hukum
Dengan demikian, MLA tetap diperlukan ketika aset hasil kejahatan sudah berpindah ke luar negeri.
Namun, agar permintaan bantuan internasional itu punya dasar hukum yang kuat dan terkoordinasi, Indonesia harus memiliki instrumen nasional yang kokoh, yakni RUU Perampasan Aset.
Tanpa dasar nasional tersebut, MLA hanya akan berfungsi sebagai kerja sama administratif yang terbatas oleh yurisdiksi dan prosedur hukum negara lain.
Pelajaran dari Kasus Besar
Beberapa kasus besar yang pernah dihadapi Indonesia menunjukkan keterbatasan peran MLA tanpa dukungan perangkat hukum perampasan aset.
Kasus BLBI, Sjamsul Nursalim, hingga Eddy Tansil memperlihatkan bagaimana aset hasil kejahatan menguap di luar negeri karena proses hukum yang panjang dan tidak adanya mekanisme cepat untuk menyita harta tanpa menunggu putusan pidana tetap.
Jika RUU Perampasan Aset telah berlaku sejak dulu, negara bisa langsung menindak harta kekayaan yang terbukti berasal dari kejahatan, tanpa harus menunggu putusan terhadap pelaku yang sudah melarikan diri ke luar negeri.
Urgensi Politik dan Moral
Lebih dari sekadar langkah hukum, RUU Perampasan Aset adalah ujian moral dan politik negara.
Ia mencerminkan sejauh mana pemerintah dan DPR berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi dan pemulihan kerugian publik.
Tanpa RUU ini, Indonesia akan terus menjadi “surga aman” bagi aset hasil kejahatan lintas batas.
Padahal, dalam konteks global, Indonesia telah terikat dalam Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) serta forum G20 Anti-Corruption Working Group yang mendorong penguatan mekanisme pemulihan aset secara nasional.
Kehadiran RUU Perampasan Aset akan memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi hukum internasional, mempercepat proses asset recovery, dan menutup peluang bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi di balik prosedur hukum yang rumit.
Penutup
Mutual Legal Assistance (MLA) tetap penting sebagai jembatan kerja sama antarnegara, terutama untuk melacak aset yang telah melintasi batas yurisdiksi.
Namun, RUU Perampasan Aset adalah fondasi utama bagi Indonesia untuk berdiri kokoh di dalam negeri dan memiliki posisi tawar yang kuat di luar negeri.
Tanpa RUU ini, MLA hanya akan menjadi jaring hukum yang bocor — menangkap pelaku, tetapi kehilangan hartanya.
Dengan RUU ini, negara bukan hanya menghukum orangnya, tetapi juga memulihkan keadilan bagi rakyat melalui pemulihan aset yang sah milik negara.
Catatan Redaksi:
Artikel ini disusun sebagai bagian dari kajian publik untuk memperkuat kesadaran hukum dan tata kelola pemerintahan yang bersih. (Disclaimer).
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo