Kopi, Kejujuran, dan Jalan Sunyi BPKP

Sumber foto istimewa
JEPARANEWS | JEPARA - Tanggal 30 Mei 2025 menandai usia ke-42 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), lembaga pengawasan internal pemerintah yang lahir dari semangat reformasi pengelolaan keuangan negara. Di tengah usianya yang matang, BPKP kini menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan integritas pengawasan di tengah sistem pemberantasan korupsi yang kian terkooptasi oleh kepentingan oligarki?
Pesan reflektif dari Pak Gandhi dalam peringatan HUT ini cukup menggugah: "Kejujuran adalah mahkota pengawas." Sebuah kalimat sederhana, namun bermakna dalam. Dalam konteks ini, BPKP sejatinya bisa diibaratkan seperti kopi: jujur, tidak berpura-pura manis, dan tidak pernah menutupi rasa aslinya. Justru karena kejujurannya, kopi menjadi minuman yang membangkitkan semangat. Demikian pula pengawasan yang jujur mungkin pahit, tetapi menyadarkan dan menyelamatkan.
Namun dalam perjalanannya, ada kegelisahan mendalam yang disampaikan oleh Mr. Hand, pensiunan BPKP yang merupakan saksi sejarah saat disahkannya UU KPK 2002. Beliau menyebut bahwa sejak awal, rancangan UU KPK yang ideal telah dimutilasi oleh kepentingan politik. Revisi UU KPK tahun 2019 kian menegaskan kemunduran, bukan kemajuan. Dan di titik inilah, BPKP justru terbuang dari arena pemberantasan korupsi yang lebih luas.
Pertanyaannya: apakah Indonesia masih memiliki harapan untuk menata ulang sistem pengawasan dan pemberantasan korupsi secara utuh?
Jawabannya akan sangat bergantung pada keberanian pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto dalam membuka kembali ruang pengawasan yang berbasis integritas dan akuntabilitas. Sudah saatnya BPKP tidak hanya difungsikan sebagai lembaga administratif yang memeriksa angka-angka, tetapi diposisikan kembali sebagai mitra strategis Presiden dalam mendesain ulang manajemen antikorupsi nasional.
Keberadaan KPK yang saat ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai “rusak bejat” bahkan lebih parah dari “rusak berat” menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik. Bila terus dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada matinya harapan rakyat terhadap supremasi hukum dan keadilan. Mr. Hand menyebutnya sebagai sinyal awal "bubar"-nya negara jika tidak segera ditangani.
Tentu kita tidak menginginkan Indonesia gagal karena ketidakmampuan memperbaiki sistem pengawasannya. Maka dari itu, dalam semangat peringatan HUT ke-42 ini, BPKP memiliki peluang untuk mengambil kembali peran strategisnya. Menjadi institusi yang menyuarakan kejujuran kepada kekuasaan, meskipun pahit. Karena kejujuran bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga modal keberlangsungan negara.
Selamat ulang tahun BPKP Tetaplah menjadi kopi yang jujur pahit, tapi membangkitkan.
Karena negeri ini butuh pengawas sejati, bukan pemanis buatan.
Djoko TP Pengamat Kebijakan publik
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo