Analisis Hukum: Penafsiran Pengecualian SIP dalam UU Kesehatan Masih Menunggu Aturan Pelaksana
Analisis Hukum: Penafsiran Pengecualian SIP dalam UU Kesehatan Masih Menunggu Aturan Pelaksana, Sabtu (13/12/2025).
Analisis Hukum: Penafsiran Pengecualian SIP dalam UU Kesehatan Masih Menunggu Aturan Pelaksana
Oleh: Djoko TP
JEPARANEWS | JEPARA - Penafsiran terhadap Pasal 265 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan kembali menjadi perhatian publik, menyusul adanya pernyataan saksi ahli Teradu Dr dr E dalam forum pemeriksaan Majelis Disiplin Profesi yang melibatkan dr. DAW dan RS GH. Hingga saat ini, proses pemeriksaan tersebut masih berlangsung dan belum menghasilkan putusan.
Isu yang mengemuka berkaitan dengan pemahaman bahwa dokter dapat melakukan praktik tanpa Surat Izin Praktik (SIP) dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 265 huruf e, meskipun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana belum diterbitkan.
SIP Tetap Menjadi Norma Hukum Utama
Dalam konstruksi UU Kesehatan, Pasal 263 secara tegas mewajibkan setiap tenaga medis memiliki SIP pada setiap lokasi praktik. Ketentuan ini merupakan norma utama yang bersifat mengikat dan menjadi fondasi tertib administrasi pelayanan kesehatan.
Sementara itu, Pasal 265 memang membuka kemungkinan adanya pengecualian dalam “kondisi tertentu”. Namun ketentuan tersebut tidak dapat dilepaskan dari Pasal 266, yang secara eksplisit memerintahkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud Pasal 263 sampai dengan Pasal 265 harus diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Hingga saat ini, PP yang dimaksud belum diterbitkan, sehingga pengecualian tersebut belum memiliki landasan operasional yang jelas.
Penjelasan Undang-Undang Tidak Bersifat Konstitutif
Dari perspektif hukum tata perundang-undangan, penjelasan undang-undang memiliki fungsi interpretatif, bukan pembentuk norma baru. Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh menambah atau menciptakan norma hukum.
Frasa “pelayanan kesehatan insidentil lainnya yang bersifat sementara” dalam Penjelasan Pasal 265 huruf e dipahami sebagai contoh ilustratif, bukan norma mandiri yang dapat langsung dijadikan dasar praktik.
Kutipan Ahli: Penjelasan Tidak Bisa Menggantikan PP
Pakar hukum administrasi negara (inisial Prof. HN) menilai bahwa pengecualian terhadap kewajiban SIP tidak dapat diberlakukan tanpa aturan pelaksana.
“Dalam sistem hukum administrasi, penjelasan undang-undang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Selama Peraturan Pemerintah belum terbit, kewajiban SIP tetap berlaku penuh. Pengecualian tanpa dasar PP berpotensi menimbulkan ketidakabsahan administratif,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan ahli hukum perundang-undangan Dr. AR, yang menegaskan bahwa penjelasan tidak dapat berdiri sendiri.
“Menjadikan penjelasan sebagai dasar tindakan hukum bertentangan dengan asas legalitas. Penjelasan hanya membantu memahami norma, bukan menggantikannya,” kata Dr. AR.
Aspek Administrasi Pemerintahan
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, setiap tindakan pelayanan publik harus memenuhi asas legalitas, kewenangan, kehati-hatian, dan akuntabilitas.
Dalam konteks praktik medis, ketiadaan SIP yang tidak didukung aturan pelaksana berpotensi menimbulkan:
• ketidakpastian hukum administratif,
• risiko tidak sahnya produk layanan medis,
• serta potensi persoalan etik dan administrasi di kemudian hari.
Sejumlah pengamat menilai bahwa kehati-hatian mutlak diperlukan agar pelayanan kesehatan tetap berada dalam koridor hukum yang jelas.
Tujuan Pembentuk Undang-Undang
Secara teleologis, Pasal 265 UU Kesehatan dipahami sebagai instrumen untuk menjamin akses pelayanan kesehatan dalam kondisi luar biasa, seperti bencana, kejadian luar biasa (KLB), atau misi kemanusiaan.
Ketentuan tersebut tidak dimaksudkan untuk melegitimasi praktik rutin atau pelayanan medis sehari-hari di luar sistem perizinan yang telah ditetapkan.
Penafsiran Masih Menjadi Perdebatan Akademik
Perbedaan pandangan hukum yang muncul dalam forum etik, termasuk yang berkaitan dengan dr. DAW dan RS GH, dipandang sebagai bagian dari dinamika akademik dan profesional. Namun para ahli mengingatkan bahwa perdebatan akademik tidak serta-merta dapat dijadikan dasar operasional praktik sebelum ada kejelasan regulasi.
Penutup
Analisis ini disusun sebagai kajian hukum normatif atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses pemeriksaan Majelis Disiplin Profesi yang melibatkan dr. DAW dan RS GH masih berjalan dan belum menghasilkan putusan final.
Penafsiran akhir mengenai penerapan Pasal 265 UU Kesehatan pada praktik medis tetap menunggu kejelasan regulasi melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan analisis hukum dan tidak dimaksudkan sebagai putusan etik maupun hukum terhadap individu atau institusi tertentu. DISCLAIMER
Editor :Eko Mulyantoro
Source : Djoko Tjahyo Purnomo